Oleh : Slamet Sugino,SE.
Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang hakim harus menjaga segala tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan yang menjatuhkan martabatnya sebagai hakim. Hakim tidak boleh terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya atau tekanan dari siapa pun dan harus tegar dari segala hantaman dari pihak mana pun. Untuk mengontrol hakim dari tindakan tercela, maka hakim harus tunduk kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 dijelaskan bahwa perilaku hakim adalah sikap, ucapan, dan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim dalam kapasitas pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja termasuk perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas profesi.
Kode Etik Perilaku Hakim menuntut seorang hakim agar menjadi seorang yang mulia, bayangkan mengeluarkan ucapan yang kotor saja dilarang baik ketika di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Menurut Abdul Manan dalam buku Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan dijelaskan seorang hakim tidak dibenarkan bersenda gurau secara berlebihan, hal ini akan menjatuhkan martabat dan wibawa seorang hakim.
Sejarah Kemandirian Hakim
Pada tahun 1945, praktek kekuasaan kehakiman ditentukan oleh pasal 24 dan 25 UUD 1945 dan dipengaruhi oleh prinsip-prinsip peraturan pada masa kolonial yaitu dalam “Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie” (Reglement tentang Organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan / RO) yang tertera dalam Staatblad 23/1847 jucto Staatblad 57/1848. Prinsip yang terkandung dalam (R.O) adalah : Pertama. Pengangkatan seorang hakim dilakukan oleh seorang Gubernur Jenderal setelah lolos memenuhi persyaratan dan seleksi yang dilakukan sebagaimana ditentukan Undang-undang. Kedua. Bahwa hakim adalah Pegawai Negeri (ambtenaar) yang khusus bertugas melaksanakan peradilan dalam rangka tujuan menegakkan hukum dan Undang-undang. Ketiga. Bahwa sebagai
pegawai negeri (ambtenaar) di dalam menjalankan tugasnya berada di bawah pengawasan badan pengadilan tertinggi. Keempat. Jabatan Hakim tidak boleh dirangkap oleh jabatan lain. Kelima. Hakim dapat diberhentikan atas dasar alasan- alasan yang ditentukan oleh Undang-undang.
Kemudian pada tahun 1950, pada masa berlaku Konstitusi RIS UU Nomor 1 Tahun 1950, kedudukan hakim tidak jauh berbeda dengan (R.O) yaitu Pertama. Hakim adalah pegawai negeri yang ditentukan oleh Undang-undang. Kedua. Hakim dapat diberhentikan atas dasar Undang-undang. Ketiga. Hakim bertugas untuk menegakkan hukum dan Undang-undang berdasarkan ketentuan Undang-undang. Keempat. Bahwa dalam menjalankan tugasnya hakim berada dibawah pengawasan Mahkamah Agung. Oleh karena masa berlaku Konstitusi RIS adalah 1 tahun, maka tidak banyak yang dicatat dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Pada masa berlaku UUD 1945 dan UU Nomor 19 Tahun 1964 kedudukan hakim tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Namun terdapat beberapa perubahan yaitu : Pertama. Tugas Hakim adalah sebagai penegak hukum revolusi di bawah pimpinan pemimpin besar revolusi yaitu Presiden. Kedua. Presiden dapat campur tangan di dalam urusan peradilan yang dilakukan oleh hakim. Ketiga. Hakim dalam menjalankan tugasnya berada di bawah pengurusan dan pengawasan 2 kekuasaan yaitu yudikatif yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan eksekutif yaitu Departemen yang meliputi pengawasan, pengaturan organisasi, administrasi dan finansial para hakim. Kemudian pada masa ini UU Nomor 19 Tahun 1964 menjadi sasaran kritik dan dituntut untuk melakukan pembaruan terhadapnya, diantaranya persoalan tentang diragukan pengadilan yang baik bila para hakim berkedudukan sebagai pegawai negeri. Tetapi konsep ideal status hakim belum tercapai. Kemudian setelah berlaku UU Nomor 6 Tahun 1969 terjadi kekosongan bagaimana kedudukan dan tugas hakim menurut Undang-undang.
Selanjutnya, pada masa berlaku UU Nomor 14 Tahun 1970 kedudukan serta tugas hakim pada dasarnya sama dengan konsep yang berlaku pada “Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie” (Reglement tentang Organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan / RO). Menurut HM. Kosnoe dalam buku Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut UUD 1945 dijelaskan bahwa praktek pengaturan kedudukan hakim sebagai pegawai negeri sipil / PNS
(ambtenaar) adalah pengaruh pemikiran dan praktek pada masa kolonial. Sehingga tetap menjadi persoalan ketika dikaitkan dengan keinginan mengimplementasikan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Perubahan status hakim dari PNS menjadi Pejabat Negara terwujud setelah disahkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999. Yang mana pada pasal 11 ayat 1 huruf (d) dinyatakan hakim termasuk pejabat negara.
Pada tahun 2009 kembali terjadi perubahan undang-undang yang mengatur bidang peradilan yaitu UU Nomor 48 Tahun 2009. Pada pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara. Proses rekrument hakim pun berubah, tidak lagi diterima dari jalur PNS. Misalnya syarat menjadi Hakim Pengadilan Agama berdasarkan pasal 13 ayat 1 huruf (f) UU No. 7 Tahun 1989 adalah PNS, namun berdasarkan pasal 13 ayat ayat 1 huruf (a) s/d (j) UU Nomor 50 Tahun 2009 unsur hakim dari PNS menjadi hilang. Begitu juga halnya dengan pasal 122 huruf (e) dan (f) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dinyatakan hakim adalah pejabat negara.
Namun, peraturan perundang-undangan menyangkut status hakim antara satu dengan yang lain masih tidak harmonis. Bahkan dalam data kependudukan (E KTP) profesi hakim tidak dicantumkan sebagai pekerjaan. Lembaga legislatif dituntut untuk dapat membuat kajian-kajian menyusun suatu peraturan perundang-undangan dengan baik, agar dualisme status hakim yang mengandung konflik norma dan norma yang kabur (vage normen) dapat terselesaikan.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu perlu harmonisasi peraturan perundang-undangan. Harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum.
Peraturan perundang-undangan yang baik harus taat kepada “asas lex superior derogat legi inferior” (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah/asas hirarki), “asas lex specialis derogat legi generalis” (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan “asas lex posterior derogat legi priori” (pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama).
Harapan RUU Jabatan Hakim
Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip Hamid S Attamimi membedakan
2 kategori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijk regelgeving) yaitu asas formal dan asas material. Asas formal meliputi : asas tujuan jelas, asas lembaga tepat, asas perlunya pengaturan, asas dapat dilaksanakan, asas konsesus. Sedangkan asas material yaitu asas kejelasan terminologi dan sistematika, asas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali, asas persamaan, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Rancangan Undang-undang yang disusun harus berdasar Program Legislasi Nasional. Baik rancangan dari DPR, Presiden, maupun DPD. Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang harmonis, perlu diperhatikan tata hukum nasional yang baik yaitu Pertama. Sumber dasar hukum yaitu Pancasila. Kedua. Cita-cita hukum nasional. Ketiga. Politik hukum nasional. Keempat. Pertingkatan hukum nasional. Kelima. Mekanisme pengembangan hukum nasional. Keenam. Lembaga yang menangani hukum nasional. Ketujuh. Kesadaran hukum masyarakat.
Pembahasan RUU dilakukan dalam 2 tahap pembicaraan. Pembicaraan tingkat I (satu) adalah dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
RUU Jabatan hakim merupakan salah satu upaya mewujudkan kemandirian hakim. Kemandirian hakim bukan kemerdekaan yang absolut, karena hakim dalam menjalankan tupoksinya selalu dibatasi oleh hukum dan keadilan. Diharapkan Naskah akademik RUU Jabatan Hakim yang berasal dari DPR dapat memperhatikan aspirasi para hakim. Moh. Mahfud MD dalam bukunya Membangun Politk Hukum Menegakkan Konstitusi, menjelaskan bahwa peletakkan hakim sebagai pegawai negeri, sangat memungkinkan terjadinya intervensi atas kebebasan hakim karena persoalan struktural, psikologis, dan watak korps serta
birokrasi yang membawa atau menuntut ikatan tertentu. Tentunya pendapat tersebut, hendaknya menjadi perhatian dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim.
Penutup
Kemandirian hakim dalam negara hukum (rechtsstaat) adalah mutlak. Hal ini sesuai dengan prinsip “The International Commission of Jurist” yaitu peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). RUU Jabatan Hakim diharapkan dapat menyerap aspirasi hakim dalam penyusunannya. Semoga RUU Jabatan Hakim dapat mengubah konsep dari “Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie” (Reglement tentang Organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan / RO) yang merupakan konsep kolonial yang memposisikan hakim sebagai Pegawai Negeri (ambtenaar).