Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Penggunaan alat tangkap ikan menggunakan alat tangkap Cantrang (Trawls) di wilayah perairan perikanan Negara Indonesia, merupakan polemik lama yang hingga hari ini masih menjadi masalah. Sejak tahun 1980 telah dikeluarkan peraturan guna menangani hal ini hingga aturan yang terbaru adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 2/PERMEN – KP/2015. Trawl yang digunakan oleh sebagian nelayan lokal di Indonesia, di samping melanggar hukum negara dan hukum lokal, juga menimbulkan dampak serius lainnya terhadap fungsi lingkungan. Hingga didapatkan hasil bahwa aturan mengenai penangkapan ikan menggunakan cantrang dirasa masih kurang dapat diterima hal ini terbukti dengan masih banyaknya penggunaan alat tangkap jenis ini. Artikel ini mengangkat judul Penggunaan Alat Tangkap Jenis Cantrang Diwilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Penulisan artikel ini didasarkan dari hasil pengkajian berbagai Literatur sebagai sumber rujukan. Selain itu juga karena keresahan dari penulis mengenai kerusakan yang dihasilkan alat tangkap jenis cantrang ini pada ekosistem biota bawah laut. Artikel ini menyimpulkan bahwa proses pemakaian trawl yang disadari dampaknya, tidak lepas dari proses modernisasi, trawl tersebut dirasionalkan akan mempercepat peningkatan ekonomi nelayan.
PENGANTAR
Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumber kekayaan yang ada pada perairan. Sumberdaya perikanan memiliki karakteristik yang unik yaitu merupakan sumberdaya milik bersama (common property) dan juga bersifat open acces yang artinya sumberdaya perikanan ini dapat di manfaatkan oleh siapapun untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu wilayah perairan. dengan karakteristik tersebut sumberdaya perikanan ini dapat mengalami overfishing yaitu penangkapan secara berlebihan tanpa mepertimbangkan dari kelestarian sumberdaya ikan tersebut, jika hal ini berlanjut maka lama kelamaan hal tersebut akan mengakibatkan penurunan jumlah sumberdaya perikanan yang terdapat pada suatu wilayah dan juga akan berdampak pada perekonomian Negara yang bersangkutan.
Orientasi untuk memperoleh keuntungan yang tinggi dapat berakibat buruk bagi kelestarian sumber daya ikan maupun kesinambungan usaha. Mengeksploitasi sumber daya ikan yang bertentangan dengan kaidah pengelolaan sumber daya yang rasional dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem. Menurut James A. Crutchfield usaha perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi akan menempatkan prioritas motivasi ekonomi menjadi paling depan. Hal ini dapat mengakibatkan gejala atau 2 bahkan “lebih tangkap” (over fishing), yaitu persoalan mendasar yang berhubungan dengan kelestarian sumber daya ikan sebagai milik bersama (common property).
Permasalahan yang dialami pada pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut maka perlu adanya kebijakan dan strategi yang diambil dalam pendayagunaan dan pemanpaatan suberdaya perikanan laut yang dimaksudkan untuk dapat mencapai pembangunan dalam bidang perikanan. beberapa kebijakan dan strategis ditunjukkan untuk untuk mengelola sumberdaya perikanan yang sudah padat tangkap dengan cara menggunakan Alat Penangkap Ikan yang ramah lingkungan sehingga mengurangi jumlah tekanan penangkapan yang terlalu tinggi pada sumber daya perikanan.
Di Negara Indonesia sendiri berkaitan dengan pengelolaan perikanan Peranan dari pemerintah untuk ikut menjaga kekayaan alam Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 2/PERMEN – KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Sesungguhnya Penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela
(trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) dapat menjadi instrumen preventif bagi keselarasan dan keberlanjutan sumber daya alam terutama ikan yang kerusakannya dapat dirasakan tidak hanya di masa sekarang tetapi juga di masa yang akan datang oleh generasi selanjutnya sehingga perlu optimalisasi dari penegak hukum dan dukungan dari masyarakat untuk mewujudkan Indonesia menjadi poros maritim dunia. Selain itu perlunya menjaga ekosistem di laut secara konstitusional dianggap sebagai suatu penegasan dari pelaksanaan UUD 1945 tentang kewajiban negara dan tugas negara untuk melindungi kekayaan alam sebagaimana tersebut dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV dan Pasal 33 ayat (3) yaitu bahwa kekayaan alam indonesia harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
(1) Awal mula penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang? (2) Data penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia? (3) Bagaimana pemerintah mengatur penggunaan alat tangkap ikan cantrang di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia? (4) Dampak dari penggunaan alat tangkap ikan cantrang dari aspek sosial, ekologis dan kultural? (5) Upaya pemerintah dalam menanggulangi penggunaan alat tangkap ikan cantrang?
PEMBAHASAN
Sejak tahun 1969 pukat trawl sudah digunakan di Indonesia. Trawl berkembang pesat tahun 1970-an, karena dua kondisi, yakni: Pertama, tingginya permintaan dunia untuk udang. Kedua, berkembangnya perusahaan perikanan udang, baik dalam bentuk Penaman
Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) (Barani, 2003 : 5). Kondisi tersebut sekaligus menjadi alasan proses modernisasi alat tangkap perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Alat penangkap ikan jenis cantrang semakin popular di kalangan nelayan, contohnya di daerah jawa timur khususnya di laut bagian utara, berdasarkan data tahun 2009 jumlah nelayan perikanan tangkap di Jawa Timur sebanyak 234.467, dimana jumlah nelayan perikanan tangkap didaerah utara sebanyak 185.846 tersebar di 14 kabupaten atau kota. Sedangkan produksi perikanan tangkap dengan jenis alat tangkap cantrang sebanyak 15.876,50 ton .
Dengan melihat data tersebut sebagian nelayan Jawa Timur bertumpu pada alat tangkap ini untuk menopang perekonomian mereka sebagai pekerjaan primer para nelayan cantrang. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Gellwynn Jusuf mengatakan pada berita di portalkbr.com, di Jawa Tengah penggunaan alat cantrang bukannya berkurang malah semakin meningkat. Salah satunya, jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap canreang ini telah mencapai 10.758 di 2015, atau meningkat 100 persen dari 2007 yang hanya 5.100.
Dalam perjalanannya, larangan trawl ternyata bukan harga mati. Keppres No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang, memboleh pukat yang menyerupai trawl, khusus beroperasi di Wilayah Perairan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan Laut Arafura. Kepprres sepertinya menjadi jalan tengah, di mana tuntutan melarang dan menggunakan trawl masing-masing ada dasar hukumnya. bedanya, yang larangan trawl terkait dengan upaya pelestarian lingkungan dan menghindari konflik sosial, sedangkan pukat udang dalam rangka mengimbangi gelora permintaan udang dunia yang kabarnya waktu itu beranjak naik.
Menurut Ermawati dan Zuliyati (2015), dampak yang ditimbulkan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik diantaranya memiliki dampak sosial. Dampak sosial yang ditimbulkan dapat berupa pengangguran.
Peraturan Menteri ini menimbulkan pengangguran bagi anak buah kapal. Setiap satu kapal cantrang terdiri dari 15 anak buah kapal. Daerah Provinsi Jawa Tengah memiliki kapal cantrang sebanyak 10.758 unit, artinya dampak dari pelarangan alat tangkap cantrang akan merugikan lebih dari 160 ribu orang yang kehilangan pekerjaan.
Selain itu, Biota-biota yang tidak ikut tertangkap akan terganggu cara hidupnya sehingga regenerasi juga akan terganggu serta tidak bisa berkembang biak dengan baik untuk menghasilkan individu baru yang bisa ditangkap oleh nelayan.Kondisi ini juga menyebabkan deplesi stok sumber daya ikan.
Jika biota-biota ini tidak bisa beradaptasi dengan habitat yang selalu diganggu, maka mereka akan bermigrasi dan mencari habitat baru yang jauh dari gangguan. Fishing ground (lokasi penangkapan) nelayan akan ikut berpindah dan menjauh, serta biaya operasional penangkapan semakin tinggi
KKP memiliki komitmen yang serius untuk menata kembali pengelolaan perikanan dengan tujuan agar kelestarian sumberdaya ikan bisa terwujud dan keberlanjutan usaha perikanan bisa semakin terjamin. Komitmen ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Ke depan semua WPP-RI akan dikelola secara lebih serius dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pembatasan fishing capacity melalui pengaturan jumlah armada atau hari penangkapan. Kedua, pengaturan “time &
spatial closure” untuk memberikan kesempatan bagi spesies target pulih, serta ketiga adalah pengaturan selektivitas Alat Penangkap Ikan.
Lalu, muncul usaha untuk memodifikasi trawl, agar dapat dipergunakan dan tidak melanggar hukum, dengan nama minitrawl. Namun ia tetap mengancam ikan demersal dan memunculkan konflik sesama nelayan. Mengantisipasi kondisi tersebut, dikeluarkan Keputusan Direktorat Jenderal Perikanan Nomor IK. 340/DJ.10106/97 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694 Tahun 1980. Keputusan ini mempertegas spesifikasi trawl yang tidak boleh dipergunakan. Keputusan tersebut membingungkan dan bersifat multi tafsir, terutama dikaitkan penegasan suatu alat tangkap termasuk kategori trawl atau tidak.
Dalam lingkup lokal, terdapat lima Arah Kebijakan penting, sebagai penentuan arah kebijakan strategis berdampak pemerataan akibat peningkatan kesejahteraan melalui pengelolaan, pengendalian dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang terintegrasi di Indonesia, yakni: (a) menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat di wilayah pesisir melalui diversifikasi jenis usaha; (b) melaksanakan pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir, kelautan dan perikanan melalui peningkatan koordinasi dengan lintas sektor; (c) melakukan percepatan revitalisasi melalui pembangunan / pengembangan sarana dan prasarana pokok perikanan tangkap dan budidaya; (d) pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan; dan (e) pengembangan sumber daya perikanan .
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uraian diatas terkait penggunaan alat penangkap ikan jenis cantrang (trawl) maka berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka dapat disimpulkan bahwa :
Berdasarkan catatan sejarah, cantrang pertama kali dikreasikan oleh nelayan Inggris di Laut Mediterania pada kurun tahun 1930-an. Alat tangkap ini diniatkan untuk mengganti Trawl yang terlalu merusak sumberdaya hayati dan lingkungan habitat dasar perairan.
Cantrang pukat memiliki bentuk relatif kecil dan dapat ditarik dengan deck machinery. Sejak tahun 1969 pukat trawl sudah digunakan di Indonesia. Trawl berkembang pesat tahun 1970-an, karena dua kondisi, yakni: Pertama, tingginya permintaan dunia untuk udang. Kedua, berkembangnya perusahaan perikanan udang, baik dalam bentuk Penaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal dalam
Negeri (PMDN) (Barani, 2003 : 5). Kondisi tersebut sekaligus menjadi alasan proses modernisasi alat tangkap perikanan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tren penggunaan alat penangkap ikan jenis dogol—termasuk lampara dasar, cantrang, jaring arad—secara nasional (2001-2012) meningkat. Pada 2001, jumlahnya sebesar 10.314 buah dan meningkat hingga mencapai 28.442 buah pada 2012. Meskipun data terakhir KKP ini data lama, ia mengindikasikan bahwa dogol merupakan alat tangkap yang umum dipakai nelayan. Alat penangkap ikan jenis cantrang semakin popular di kalangan nelayan, contohnya di daerah jawa timur khususnya di laut bagian utara, berdasarkan data tahun 2009 jumlah nelayan perikanan tangkap di Jawa Timur sebanyak 234.467, dimana jumlah nelayan perikanan tangkap didaerah utara sebanyak 185.846 tersebar di 14 kabupaten atau kota. Sedangkan produksi perikanan tangkap dengan jenis alat tangkap cantrang sebanyak 15.876,50 ton .
Undang-undang Perikanan di sahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 6 Oktober 2004. UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan diundangkan oleh Mensesneg Bambang Kesowo di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118 dan Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433. Kemudian diperjelas melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 2/PERMEN – KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Penggunaan alat penangkap ikan jenis cantrang memiliki dampak yang serius dibidang sosial, ekologis dan kultural. Dampak sosial yang ditimbulkan dapat berupa pengangguran. Jika dalam satu kapal penangkap ikan jenis cantrang memiliki 15 ABK dengan jumlah kapal yang berkisar 10.000 buah dalam satu provinsi.
Artinya dampak dari pelarangan alat tangkap cantrang akan merugikan lebih dari 160 ribu orang yang kehilangan pekerjaan. Dampak ekologis mempengaruhi proses regenerasi dari ikan bycatch yang tertangkap dari alat penangkap ikan cantrang, selain itu penggunaan cantrang memungkinkan adanya perusakan terumbu karang akibat seretan dari cantrang tersebut. Dampak kultural mengacu kepada proses penangkapan ikan yang lebih mengutamakan efisiensi dan efektifitas tanpa memikirkan akibatnya. Akhirnya, proses penangkapan dengan jala atau alat tradisional terabaikan.
Sejatinya, Menteri kelautan dan perikanan ibu Susi Pudji Astuti telah memikirkan terkait penanggulangan penggunaan API cantrang ini, diantaranya untuk kapal dengan ukuran 5 GT kebawah akan disediakan API yang bersifat ramah lingkungan, untuk kapal dengan ukurang 10-20 GT akan diberikan modal oleh perbankan Indonesia dan untuk kapal besar ukuran 30 GT keatas akan diatur wilayah penangkapannya di daerah perairan Arafuru dan Natuna
SARAN
Sebaiknya perlu dilakukan upaya peninjauan kembali terhadap PERMEN KP No. 2 Thn 2015 baik dari segi subtansi hukum maupun efektifitas pelaksanaannya. Apabila akan dibuat aturan baru perlu adanya kajian secara spesifik mengenai kondisi sosial, budaya, ekonomi, sumberdaya dan lingkungan agar tidak muncul aturan yang hanya berupa larangan tetapi dapat disertai solusi dalam mengatasi masalah. Para pembuat aturan perundang-undangan juga harus dapat membangun komunikasi secara intens untuk mencari solusi problem yang berkaitan dengan penanggulangan dan pengaturan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
Agar pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut dapat merasakan dampak baiknya.
Disamping itu, pemerintah harus kontinyu mensosialisasikan Permen NO. 2/PERMEN-KP/2015 kepada nelayan cantrang di seluruh Indonesia dengan melibatkan pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat., dan nelayan itu sendiri di setiap daerah masing-masing. Untuk membangun kesadaran masyarakat terkait penggunaan alat penangkap ikan di indonesia. ( by Slamet Sugino, SE )