Mphnews – JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Pasal 2 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, dan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Selasa (9/12/2025).
Sidang kedua untuk permohonan Warsito Ahmad Qodlofi selaku advokat dan konsultan hukum ini beragendakan mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan yang telah dilakukannya.
Dalam persidangan Permohonan Nomor 227/PUU-XXIII/2025 ini, Warsito menyebutkan telah memperbaiki sebagaimana nasihat para Hakim Panel. Di antaranya penyempurnaan petitum Pemohon.
“Menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa: pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat dan pembuatan kartu tanda pengenal advokat sebagai atribut advokat diserahkan kepada Mahkamah Agung melaui pengadilan tinggi,” ucap Warsito secara daring saat membacakan salah satu petitum permohonan yang telah disempurnakannya.
Sebagai informasi, Permohonan Nomor 227/PUU-XXIII/2025 diajukan Warsito Ahmad Qodlofi, seorang advokat dan konsultan hukum. Pemohon mengujikan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, dan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 2 ayat (2) UU Advokat menyatakan, “Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.”
Pasal 4 ayat (3) UU Advokat menyatakan, “Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.”
Pasal 9 ayat (1) UU Advokat menyatakan, “Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.”
Pasal 10 ayat(1) huruf c UU Advokat menyatakan, “Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan : c. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.”
Pasal 30 ayat (2) UU Advokat menyatakan, “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.”
Menurut Pemohon pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan luas kepada organisasi advokat untuk mengatur pengangkatan, keanggotaan, pemberhentian, serta legitimasi beracara melalui penerbitan dan perpanjangan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Sehingga, pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
“UU Advokat tidak mengenal istilah KTPA sebagai syarat hukum untuk beracara. Adapun penetapan KTPA sebagai instrumen wajib berasal dari aturan internal organisasi advokat dan kebiasaan administratif,” kata Warsito dalam sidang perdana yang dihadirinya secara daring, Rabu (26/11/2025).
Selain itu, Pemohon juga menilai perpanjangan KTPA sebagai instrumen pengendalian profesi yang sewenang-wenang. Akibatnya ketentuan a quo memungkinkan organisasi privat menentukan masa berlaku dan perpanjangan KTPA, sehingga advokat yang telah disumpah oleh negara dapat terhalang beracara hanya karena KTPA “mati”. Hal ini, sambung Warsito, menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak atas pekerjaan.
Di samping itu, ketentuan ini juga berpotensi pada penyalahgunaan kewenangan dan pungutan. Sebab penyerahan fungsi legitimasi profesi kepada organisasi advokat membuka ruang pungutan yang tidak diatur undang-undang, diskriminasi, serta tekanan administratif tanpa pengawasan negara.
Norma tersebut juga dinilai menciptakan disharmoni kewenangan antara Pengadilan Tinggi sebagai representasi negara dan organisasi advokat. Sumpah advokat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang merupakan representasi Mahkamah Agung, tetapi kewenangan praktis untuk menentukan sah atau tidaknya seorang advokat beracara dialihkan kepada organisasi advokat melalui KTPA/perpanjangan. Hal ini menciptakan dualisme dan ketidakpastian hukum dan menimbulkan kerugian bagi Pemohon.
Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (2) UU Advokat bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat dan pembuatan kartu tanda pengenal advokat sebagai atribut advokat diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan tinggi.












