Ketika Kota Semakin Padat: Mengapa Peran Warga Kini Semakin Penting

Gambar Ilustrasi
Gambar Ilustrasi

Mphnews – Perubahan kota sering kali terlihat seperti sesuatu yang hanya bisa dilakukan pemerintah, perusahaan besar, atau lembaga berpengaruh. Namun pengalaman banyak kota di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan justru sering dimulai dari tindakan kecil warga ― sesuatu yang kini dikenal sebagai urban activism atau aktivisme kota. Konsep ini menekankan bahwa ruang hidup kita sehari-hari bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga arena untuk berpartisipasi, berdialog, dan membangun solusi bersama.

Arsitek dan perencana kota Marco Kusumawijaya, salah satu tokoh penting dalam kajian perkotaan Indonesia, pernah menegaskan bahwa kota adalah “tempat bertemunya orang-orang berbeda yang harus belajar hidup bersama.” Dalam konteks ini, aktivisme kota muncul sebagai cara warga mengatasi masalah yang terlalu lama dibiarkan, mulai dari kualitas ruang publik, kemacetan lokal, penataan kampung, hingga pengelolaan lingkungan.

Di banyak kota besar, isu-isu seperti urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan penyusutan ruang terbuka telah menciptakan tekanan baru. Data BPS mencatat bahwa lebih dari 56% penduduk Indonesia kini tinggal di kawasan perkotaan, dan angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 68% pada tahun 2035. Dengan makin padatnya kota, konflik kepentingan dan ketimpangan akses ruang publik pun meningkat. Di sinilah aktivisme warga menjadi relevan: warga berada paling dekat dengan masalah, sehingga mereka pula yang paling cepat merasakan dampaknya.

Aktivisme kota tidak selalu berupa demonstrasi besar atau gerakan politik. Banyak perubahan justru dimulai dari aksi sederhana: komunitas kampung yang menata ulang ruang hijau, kelompok pemuda yang memperbaiki trotoar rusak, hingga forum RT/RW yang mendorong kebijakan parkir lebih tertib. Aksi-aksi kecil ini membangun kesadaran kolektif bahwa kota adalah tanggung jawab bersama ― bukan hanya milik birokrasi.

Selain kota, hubungan dengan desa juga menjadi penting. Desa menyimpan ingatan, nilai-nilai kebersamaan, dan praktik hidup berkomunitas yang sering hilang di perkotaan. Aktivisme kota yang sukses umumnya justru mengadopsi nilai sosial desa: gotong royong, saling menjaga, dan musyawarah.

Pada akhirnya, aktivisme kota adalah ajakan untuk mengatasi rasa segan dan mulai terlibat. Perubahan tidak harus besar; yang penting konsisten, kolaboratif, dan berangkat dari kebutuhan nyata warga. Kota yang lebih manusiawi tidak dibangun oleh satu sosok besar, tetapi oleh ribuan tindakan kecil yang dilakukan setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *