Mphnews – Setiap tahun, ribuan sarjana baru membanjiri pasar kerja. Mereka datang dengan segudang harapan: mendapat pekerjaan sesuai jurusan, gaji tinggi, dan hidup mapan.
Salah satu masalah utamanya adalah gengsi. Tidak sedikit sarjana yang menolak pekerjaan “tidak sepadan” dengan gelar yang disandang. Mereka merasa, biaya kuliah yang mahal harus langsung “terbayar” dengan posisi bergengsi. Padahal, banyak tokoh sukses justru memulai karier dari posisi paling dasar.
Hal ini diperparah oleh Dunning-Kruger Effect, di mana lulusan dengan IPK tinggi atau segudang sertifikat seminar merasa kompeten, padahal realita industri lebih mengedepankan keterampilan praktis.
Tekanan tidak hanya datang dari diri sendiri. Keluarga dan lingkungan sekitar juga punya andil besar. Harapan yang terlalu tinggi, perbandingan dengan kerabat, atau dorongan untuk segera mendapat pekerjaan “terhormat” bisa memicu penurunan kepercayaan diri. Sebaliknya, keluarga yang terlalu protektif bisa membuat lulusan terjebak di zona nyaman.
Pengangguran yang berlarut-larut bisa mengubah karakter seseorang. Dari yang awalnya percaya diri, mereka bisa menjadi minder dan menarik diri.
Di Indonesia, status pekerjaan masih erat kaitannya dengan harga diri. Jika pekerjaan tidak dianggap “wah”, sarjana sering dibandingkan dengan teman sebaya yang bekerja di perusahaan besar. Perbandingan ini bisa merusak mental dan menghambat keberanian untuk memulai dari nol.
Pendidikan tinggi seharusnya membekali sarjana dengan mentalitas pekerja keras dan kemampuan beradaptasi. Gelar sarjana bukan tiket emas menuju kesuksesan instan.












