Ketika AI dan Mahalnya Pendidikan Tinggi Mendorong Anak Muda Beralih ke Jalur Kejuruan

Mphnews– Perubahan besar tengah terjadi dalam cara generasi muda memandang pendidikan tinggi. Gelar sarjana yang selama puluhan tahun dianggap sebagai tiket utama menuju masa depan yang mapan, kini mulai dipertanyakan relevansinya. Survei terbaru Gallup menunjukkan hampir seperempat warga Amerika menyatakan tidak lagi percaya pada pendidikan tinggi atau memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Alasan utamanya sederhana namun mendasar: biaya kuliah yang semakin mahal tidak sebanding dengan keterampilan dan peluang kerja yang diperoleh.

Dalam tiga dekade terakhir, biaya kuliah rata-rata untuk gelar empat tahun di universitas negeri Amerika telah meningkat lebih dari dua kali lipat setelah disesuaikan dengan inflasi. Banyak responden survei Gallup menilai universitas gagal membekali mahasiswa dengan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Keraguan itu semakin kuat di tengah cepatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), yang meskipun menciptakan jenis pekerjaan baru, justru menyulitkan sebagian lulusan baru memasuki pasar kerja.

Studi dari Stanford, Harvard, dan King’s College London menemukan bahwa perusahaan di Amerika dan Inggris yang mengadopsi AI generatif cenderung merekrut lebih sedikit pekerja profesional junior. Pada November lalu, tingkat pengangguran lulusan sarjana berusia 20–24 tahun di Amerika mencapai 6,8 persen, hanya sedikit lebih rendah dibandingkan 8,6 persen pada lulusan sekolah menengah atas. Bahkan, lebih dari separuh lulusan universitas bekerja di bawah kualifikasi setahun setelah lulus, dan mayoritas dari mereka tetap berada dalam kondisi serupa hingga satu dekade kemudian.

Di sisi lain, minat terhadap pekerjaan manual dan kejuruan justru meningkat. Di media sosial seperti Instagram dan TikTok, tukang listrik dan tukang ledeng muda memamerkan aktivitas kerja harian mereka, menarik puluhan ribu penonton yang mengagumi keterampilan dan kemandirian finansial mereka. Survei American Staffing Association pada Juni lalu menunjukkan sepertiga orang dewasa akan menyarankan lulusan SMA untuk masuk sekolah kejuruan, lebih banyak dibandingkan yang mendorong kuliah di universitas.

Tren ini tercermin dalam data pendaftaran. Sejak 2020, jumlah mahasiswa di program kejuruan dua tahun di perguruan tinggi komunitas Amerika meningkat hampir 20 persen. Jumlah peserta magang aktif bahkan melonjak lebih dari dua kali lipat sejak 2014. Meski demikian, secara umum lulusan universitas berusia di atas 25 tahun masih menikmati tingkat pengangguran lebih rendah dan pendapatan hampir dua kali lipat dibanding lulusan SMA.

Namun, hasil ekonomi sangat bergantung pada bidang studi. Lulusan sains, teknologi, teknik, dan matematika mencatatkan gaji tahunan rata-rata sekitar 98.000 dolar AS pada 2024, sementara lulusan seni dan humaniora sekitar 69.000 dolar AS. Sebaliknya, teknisi lift—pekerjaan tanpa gelar sarjana—memiliki pendapatan rata-rata lebih dari 106.000 dolar AS per tahun.

Kebutuhan tenaga terampil kerah biru juga semakin mendesak. Industri manufaktur canggih, semikonduktor, hingga energi diperkirakan akan kekurangan ratusan ribu pekerja terampil dalam beberapa tahun ke depan. Meski stigma terhadap pekerjaan manual masih kuat, para ahli menilai solusi jangka panjang terletak pada sistem pelatihan terpadu seperti di Swiss, atau melalui program magang sambil kuliah yang menggabungkan pendidikan akademik dan pengalaman kerja. Bagi generasi muda, jalur menuju masa depan kini tak lagi tunggal—dan semakin beragam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *