Mphnews – Kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa bulan terakhir memunculkan kembali optimisme di kalangan investor domestik. Sejumlah analis menyebut penguatan indeks tidak lepas dari pergantian Menteri Keuangan—Purbaya Yudhi Sadewa—yang dinilai membawa angin segar bagi pasar. Sejak awal masa jabatannya, IHSG tercatat beberapa kali menyentuh rekor tertinggi, sebuah sinyal yang langsung memantik diskusi publik: apakah pasar modal Indonesia benar-benar sedang menuju fase pertumbuhan berkelanjutan?
Optimisme itu semakin menyeruak setelah Purbaya menyampaikan pernyataan tegas bahwa IHSG “in short to the moon”. Ucapan itu bukan sekadar jargon. Pemerintah tengah menyiapkan skema belanja publik besar pada 2026, termasuk pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas irigasi, serta perluasan subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Bagi pemerintah, belanja fiskal yang agresif merupakan cara paling efektif untuk mendorong produktivitas sekaligus memperbaiki daya beli masyarakat.
Kebijakan tersebut mendapat sambutan positif dari pelaku pasar. Mereka menilai belanja pemerintah yang tepat sasaran dapat menciptakan efek ganda pada perekonomian. Pendapatan petani diproyeksikan meningkat, konsumsi rumah tangga terangkat, dan arus distribusi lebih lancar melalui pembangunan infrastruktur. Kombinasi variabel inilah yang dipercaya dapat memperkuat pondasi ekonomi nasional, dan pada akhirnya menopang pasar modal.
Namun, euforia ini tidak luput dari catatan kritis. Bursa Efek Indonesia mengingatkan bahwa pergerakan IHSG dipengaruhi banyak faktor: kondisi global, gejolak geopolitik, sentimen investor, hingga kinerja fundamental perusahaan. Optimisme pemerintah penting, tetapi tidak dapat menjadi satu-satunya tolok ukur dalam membaca arah pasar. Ketergantungan ekonomi Indonesia pada ekspor komoditas dan fluktuasi pasar global juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan.
Selain itu, ancaman suku bunga tinggi di sejumlah negara besar masih berpotensi menekan aliran modal asing ke emerging markets, termasuk Indonesia. Pemerintah memang mendorong penurunan suku bunga domestik agar pembiayaan usaha lebih terjangkau, tetapi kebijakan ini tetap perlu diselaraskan dengan stabilitas nilai tukar dan inflasi.
Meski demikian, pasar tetap menaruh harapan. Sejumlah pelaku industri menilai bahwa relokasi manufaktur, ekspansi sektor hilirisasi, dan pertumbuhan kelas menengah memberi Indonesia modal kuat untuk bertahan di tengah dinamika global. Jika kebijakan fiskal dan moneter berjalan sinkron, dan sektor riil benar-benar pulih, bukan mustahil IHSG mencapai level psikologis baru dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk saat ini, publik masih menanti: apakah optimisme pemerintah sejalan dengan realitas ekonomi, atau justru IHSG kembali diuji oleh gejolak global yang sulit diprediksi.












