Mphnews – Deretan bencana yang terjadi di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir menyisakan duka mendalam. Banjir bandang, longsor, hingga runtuhnya permukiman hanyut terbawa arus bukan lagi kejadian langka, melainkan pola berulang yang makin sering muncul. Di balik air bah yang menggulung desa dan hilangnya ratusan nyawa, tersimpan persoalan struktural yang telah lama diabaikan: kerusakan hutan di hulu dan tata kelola lingkungan yang rapuh.
Hujan deras sering dijadikan kambing hitam utama. Namun, para ahli mengingatkan bahwa curah hujan ekstrem hanyalah pemicu, bukan penyebab tunggal. Alam sesungguhnya memberikan perlindungan alami melalui hutan hujan tropis yang mampu menyerap air dalam jumlah besar. Pohon-pohon besar, tanah yang gembur, dan ekosistem yang terjaga berfungsi layaknya spons yang memperlambat aliran air menuju sungai.
Masalah muncul ketika benteng alami ini digantikan dengan perkebunan monokultur atau aktivitas pertambangan. Di banyak daerah aliran sungai di Sumatera, tutupan hutan berkurang drastis dalam tiga dekade terakhir. Lahan yang dulunya hutan lindung berubah menjadi area produksi, menyebabkan run-off meningkat tajam. Ketika hujan datang, air tidak lagi meresap ke tanah; ia mengalir deras, membawa material lumpur, batu, hingga batang pohon. Inilah yang sering menjadi pemicu banjir bandang yang menghancurkan dalam hitungan menit.
Di sisi lain, kebijakan tata kelola lahan belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona merah konservasi. Praktik alih fungsi lahan kerap berlangsung tanpa perencanaan ekologis yang matang. Bahkan, beberapa regulasi memberi celah bagi kegiatan ekonomi di kawasan yang sejatinya memiliki fungsi vital bagi keselamatan masyarakat di hilir.
Di tengah kompleksitas ini, masyarakat menanggung akibat paling berat. Desa-desa rusak, akses jalan terputus, dan mata pencaharian hilang. Setiap bencana meninggalkan pertanyaan penting: siapa yang bertanggung jawab?
Para pengamat lingkungan menegaskan perlunya perubahan paradigma. Restorasi hutan di hulu sungai tidak cukup hanya berupa penanaman kembali; harus ada pengawasan ketat, penegakan hukum bagi pembukaan lahan ilegal, serta evaluasi menyeluruh terhadap izin yang telah terbit. Di saat yang sama, pemerintah perlu mengembangkan skema ekonomi alternatif berbasis konservasi—mulai dari ekowisata hingga kredit karbon—agar menjaga hutan menjadi pilihan yang menguntungkan.
Bencana di Sumatera mestinya menjadi peringatan keras bahwa alam tidak bisa terus dieksploitasi tanpa batas. Keselamatan jutaan warga bergantung pada keputusan hari ini: melindungi hutan bukan semata urusan ekologi, tetapi investasi masa depan.












