Mphnews, Sumatra – Banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dalam beberapa pekan terakhir kembali memunculkan pertanyaan besar: sebenarnya apa yang membuat bencana ini begitu mematikan? Meski hujan ekstrem kerap disebut sebagai pemicu utama, sejumlah pakar dan aktivis lingkungan menilai kerusakan ekologis yang telah berlangsung selama bertahun-tahun menjadi penyebab yang tak bisa diabaikan.
Di sejumlah daerah, air sungai meluap tiba-tiba, menghancurkan rumah, menenggelamkan permukiman, hingga memutus akses jalan. Rekaman video warga memperlihatkan detik-detik saat tanah perbukitan runtuh dan menyeret apa pun yang dilewatinya. Ratusan orang dilaporkan meninggal atau hilang, sementara ribuan lainnya mengungsi.
Namun, di balik peristiwa itu, para aktivis lingkungan mengingatkan bahwa bencana ini bukanlah sesuatu yang muncul mendadak. Deforestasi, pembukaan lahan tanpa kontrol, serta ekspansi industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit disebut sebagai penyebab utama melemahnya daya tahan alam. “Hutan yang dulu berfungsi sebagai penahan air sudah hilang. Ketika hujan datang, air langsung turun ke permukiman,” ujar seorang aktivis.
Di tingkat kebijakan, sejumlah pihak juga menyoroti lemahnya pengawasan izin yang dikeluarkan pemerintah dalam beberapa dekade terakhir. Pembukaan lahan dalam skala besar dinilai terjadi tanpa memperhatikan daya dukung wilayah. Akibatnya, ekosistem yang sebelumnya stabil berubah menjadi area rawan bencana.
Meski kerusakan terjadi masif, pemerintah pusat hingga kini belum menetapkan status bencana nasional. Alasan ini memicu kritik, mengingat jumlah korban dan kerugian terus bertambah. BNPB mencatat kerugian nasional mencapai puluhan triliun rupiah akibat bencana hidrometeorologi sepanjang tahun berjalan.
Dalam banyak laporan, kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan warga pelosok menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka kehilangan akses air bersih, terputus dari bantuan, serta kesulitan kembali ke aktivitas normal.
Para pakar menyebut bahwa perbaikan tidak cukup hanya dengan membangun kembali infrastruktur. Rehabilitasi hutan, penertiban izin perusahaan, dan penguatan pengawasan lingkungan menjadi langkah yang dinilai mendesak untuk mencegah bencana serupa terulang.
Kesimpulannya, bencana di Sumatera bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah cermin dari kondisi ekologis yang memburuk dan keputusan tata kelola yang tidak berpihak pada keberlanjutan. Dan selama akar masalah tidak diselesaikan, risiko bencana akan selalu mengintai.












