Mphnews – Industri microdrama China tengah mencuri perhatian dunia. Format tontonan ini menampilkan serial berdurasi sangat pendek (1–3 menit per episode), biasanya berorientasi vertikal untuk layar ponsel, dan disajikan dengan alur cepat, konflik berulang, serta cerita yang sering kali absurd. Judul-judulnya pun hiperdramatik seperti “Aku Dibuang Keluargaku Tapi Sang Kaisar Jatuh Cinta Kepadaku”, Anak yang tertukar dan lain lain. Fenomena ini muncul karena perubahan besar perilaku konsumsi hiburan pasca pandemi. Masyarakat kini lebih banyak menghabiskan waktu di ponsel dan mencari tontonan ringan yang tidak memerlukan konsentrasi tinggi. Di sinilah microdrama menemukan pasarnya: hiburan cepat, emosional, dan adiktif. Menurut laporan Media Partner Asia, pendapatan industri microdrama China pada 2025 mencapai USD 9,4 miliar (sekitar Rp156 triliun), naik 18 kali lipat dibanding 2021, dan diprediksi menyentuh USD 16,2 miliar pada 2030. Pertumbuhan fantastis ini menjadikan China produsen microdrama terbesar di dunia, jauh meninggalkan Jepang dan Korea Selatan. Bahkan, menurut The World of Chinese, microdrama kini mengungguli pendapatan box office film tradisional di Tiongkok. Yang menarik, profil penontonnya bukan hanya kalangan bawah. Sekitar 700 juta warga China menonton microdrama, dengan lebih dari 50% berusia di bawah 40 tahun dan 40% berpendidikan sarjana atau lebih. Ini menunjukkan bahwa tontonan “receh” justru dinikmati oleh generasi muda dan terdidik. Tren ini juga menjalar ke luar negeri; di Amerika Serikat, unduhan aplikasi seperti ReelShort, DramaBox, dan GoodShort meningkat hingga 150% pada 2025, menembus 10 juta pengguna. Mengapa tontonan “tidak masuk akal” justru digemari? Menurut Masah dari Sensor Tower, microdrama memanfaatkan psikologi kepuasan instan. Setiap episode dirancang untuk memberikan “ledakan dopamin” melalui cliffhanger, konflik cepat, dan latar yang berubah-ubah, mirip video game yang membuat pemain terus naik level. Cerita balas dendam yang berujung pada kemenangan protagonis memberi sensasi emosional yang memuaskan penonton — mereka merasa puas melihat tokoh jahat menerima karmanya. Secara bisnis, microdrama menggunakan model freemium. Sepuluh episode pertama biasanya gratis, sementara kelanjutannya berbayar antara 1–2 yuan per episode.
Keberhasilan ini juga memunculkan sisi gelap. Pemerintah China mulai memperketat pengawasan sejak 2022. National Radio and Television Administration (NRTA) menghapus lebih dari 25.000 judul (1,4 juta episode) karena dianggap vulgar, kejam, atau tidak sesuai norma. Pemerintah kini mendorong agar microdrama mengandung nilai-nilai patriotis dan tradisional.
Menariknya, keberhasilan microdrama turut menarik minat pembuat film profesional. Kini muncul ajang penghargaan khusus dan peningkatan kualitas produksi. Namun, muncul pertanyaan: jika microdrama menjadi lebih “serius”, apakah masih bisa mempertahankan daya tariknya?
Pada akhirnya, microdrama China membuktikan bahwa kesederhanaan dan keabsurdan dapat menjadi kekuatan besar di era digital. Ia memadukan hiburan instan dengan strategi ekonomi cerdas, menjadikannya simbol baru revolusi tontonan global.












