Mphnewws, Jakarta — Slogan “Kamu Tidak Akan Memiliki Apa-apa” kerap dikaitkan dengan konsep The Great Reset, sebuah agenda global yang disebut-sebut demi masa depan berkelanjutan. Namun di balik narasi modernisasi dan efisiensi, muncul pertanyaan: siapa sebenarnya yang memegang kendali?
Konsep ini memadukan identitas digital, skor sosial, hingga potensi hilangnya kepemilikan pribadi. Kritik mengalir karena banyak pihak menilai wacana ini berpotensi mengikis kebebasan individu dan memusatkan kekuasaan pada segelintir elite.
“The Great Reset” awalnya dipopulerkan World Economic Forum (WEF) sebagai langkah membangun ekonomi hijau pascapandemi COVID-19. Namun para pengamat melihat, slogan-slogan futuristik seperti ini kerap dimanfaatkan untuk memperluas kontrol lewat teknologi—dari data pribadi hingga sistem keuangan.
Sejumlah negara mulai menguji coba sistem identitas digital dan mata uang digital bank sentral (CBDC). Pendukung menyebut langkah ini akan meningkatkan keamanan dan efisiensi transaksi. Sebaliknya, para penentang menilai risiko pengawasan massal dan pembatasan hak kepemilikan jadi isu serius yang tak boleh diabaikan.
Pertanyaannya kini bukan sekadar teknologi apa yang akan diterapkan, melainkan siapa yang akan menentukan batasan dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di masa depan.












